Pedagang Kaki Lima, Salahkah Mereka ?
Sumber : Tempo.co
Pedagang
Kaki Lima atau yang akrab disebut
PKL merupakan fenomena
yang sudah tidak asing dalam kehidupan masyarakat dan tidak dapat dilepaskan dari hiruk-pikuk keseharian masyarakat
Jika kita membahas tentang pedagang kaki lima ,
maka kita harus kembali kepada sejarah dan mengacap ada krisis moneter yang pernah menerpa Indonesia pada awal tahun 1997 Kerapuhan basis ekonomi rakyat mulai nampak pada saat bangsa Indonesia
memasuki era tinggal landas atau Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang
ditandai dengan munculnya krisis multi dimensional sekaligus meandai berakhirnya masa pemerintahan orde baru .
Dengan adanya krisis ekonomi dan moneter pada waktu itu, maka terjadi sebuah kelumpuhan ekonomi nasional yang berakibat terjadinya PHK
besar-besaran baik itu dari perusahaan nasional dan jugaperusahaan swasta. Hal ini berujung pada munculnya pengangguran di
kota-kota besar,
penggangguran tersebut sudah pasti tidak memiliki pekerjaan, wajar apabila para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor
informal, Salah satu sektor
informal yang banyak diminati para pengangguran (selain
yang sudah lama bekerja di sector ini)
yaitu pedagang
kaki lima.
Pedagang kaki lima sebagai bagian dari kelompok usaha yang tak terpisahkan dari asset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan.
Hingga Pedagang kaki lima
secara umum bias disimpulkan sebagai kelompok usaha kecil yang mendirikan lapak untuk usaha berdagang, biasanya dari masyarakat yang
memiliki ekonomi kurang serta modalkecil. Pasal 27
ayat 2 UUD tahun 1945 menjelaskan tentang pedagang kaki lima
sebagai bentuk usaha masyarakat yang memiliki ekonomi rendah perlu adanya penataan dan pembinaan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Masalah ini sering timbul dan menjadi perhatian khusus oleh pemerintah kota, seperti perda kalbar no 5 tahun 2004
tentang rencana penataan kota, perda kayong utara no 1 tahun 2013
tentang pedagang
kaki lima. Semua itu adalah contoh bentuk perhatian khusus dari pemerintah untuk menertibkan pedagang kaki lima.
Saatini PKL sangat mudah kita jumpai di kota-kota besar yang mobilisasi atau tingkat pertumbuhan masyarakatnya padat, PKL mengambil sebuah peluang dari keramaian tersebut untuk medapatkan keuntungan.
Lalu bagaimanakah tanggapan dari masyarakat selaku konsumen ?
Kami bertanya kepada salah seorang mahasiswa tentang bagaimana anda sebagai masyarakat serta konsumen dengan adanya PKL ?
“ kalo saya pribadi senang aja ya soalanya lebih simple beli di PKL ketimbang harus ke mall toh di sini juga bias nawar dan pas dengan kantong mahasiswa”.Ungkap beberapa mahasiswa yang kami
wawancara’i
Tetapi di samping itu ada juga yang merasa terganggu dengan PKL, mereka menganggap
“PKL hanya buat macet serta jalan jadi kelihatan sempit dan kotor”.
Lalu bagaimana tanggapan penjual dan pengamat sosial ?
“yah seperti inilah mas nasib kami,
kalau pas laris ya dapat untung banyak kalau sepi ya cuman pas untuk makan satu hari “. Ujar salah satu pedagang kaki lima yang
kami wawancara’i
Kami menemukan fenomena yang sangat mengejutkan saat bertanya kepada seorang penjual, mereka menjelaskan bahwa ada otak dari maraknya pertumbuhan PKL yaitu
di kelola oleh seseorang, mereka menawarkan modal dan jasa keamanan kepada para PKL.
“Disini saya juga harus memenuhi setoran mas, karna ini bukan lapak kami, disini kami
hanya bekerja menjual dan setor kepada juragan” ucapnya salah satu pedagang kaki lima yang
kami wawancara’i
Lalu bagaimana pendapat pengamat social tentang masalah PKL ?
Menurut
bapak Dr.H.Ngusmanto,M.Si salah seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura beliau menjelaskan PKL sebagai penjual yang tidak berizin atau illegal serta menempati tempat yang strategis
yang banyak calon pembeli, dengan seperti itu mereka mengambil keuntungan dari tempat yang ramai.
Beliau menjelaskan salah satu penyebab munculnya PKL adalah karena kurangnya lapangan pekerjaan serta kurangnya kemampuan dari masyarakat sehingga mereka memilih untuk berjualan.
Dapat disimpulkan dari pemaparan yang disampaikan oleh bapak Dr.H.Ngusmanto,M.Si, kurang meratanya pembangunan untuk mengelola pedagang, mereka yang
memiliki modal besar akan sanggup menyewa tempat tetapi sebaliknya dengan para penjual bermodal minimalis.
Beliau menekankan, kita harus menghargai usaha mereka serta peran pemerintah untuk membuat kebijakan yang saling menguntungkan antara pemerintah dan PKL.
Berikut adalah beberapa dasar hukum yang digunakan untuk memandang fenomena pedagang kaki lima terutama untuk wilayah Kalimantan
barat , tempat kami melakukan observasi dan pengamatan :
Menurut Pasal 1 Undang-undang
No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang
dimaksud dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruanglaut, dan ruangudara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan,
dan memelihara kelangsungan hidupnya.”
·
Perda Kal-bar
no. 5 tahun 2004 tentang rencana tata ruang wilayah kal-bar.
·
Perda KKU no. 1 tahun 2013 tentang pedagang kaki lima.
·
Pasal 27 ayat 2 UUD
tahun 1945 pedagang kaki lima sebagai bentuk usaha masyarakat yang
memiliki ekonomi rendah perlu adanya penataan dan pembinaan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Lalu salahkah para pedagang kaki lima yang
sekedar mencari rezeki ? Ataukah mereka hanya menjadi kalangan yang menerima imbas dari ketidak merataan pertumbuhan ekonomi di negeri ini ?
Saran
untuk
pembaca
:
Terlepas dari baik atau buruknya pedagang kaki lima
,mereka tetaplah segelintir rakyat yang mencoba mencari nafkah .
Mereka perlu perhatian lebih dari pemerintah, mereka perlu semacam relokasi untuk tempat berdagang .
Dan kita sebagai masyarakat janganlah memberikan label buruk pada mereka atas dasar ketidaksukaan ,fenomena ini merupakan masalah yang harus diselesaikan dengan kerjasama rakyat dan pemerintah .
Talk Less Do More ,berhenti berkomentar tanpa tindakan nyata